Thursday, June 11, 2015

ETIKA SUKU-SUKU DI INDONESIA

BAB I
Latar Belakang
   Sebagai negara yang besar dan mempunyai banyak suku-suku di daerah-daerahnya, Indonesia memiliki beragam budaya dan dan tradisi yang berbeda di hampir setiap wilayah. Suku-suku di Indonesia tersebar dari wilayah paling barat hingga paling timur Negara Indonesia. Macam-macam suku, adat dan kebudayaan ynag bebeda saling berdampingan namun tetap terlihat harmonis, tetapi pasti ada beberapa perbedaan dari beberapa tradisi atau kebiasaan dari beberapa suku di Indonesia yang dapat mengganggu tradisi atau kebiasaan suku yang lainnya, contohnya suku batak yang terbiasa berbicara lantang dengan nada yang keras, jika mereka berbicara dengan suku jawa yang lemah lembut dan berbicara dengan nada pelan maka orang itu aka merasa tidak enak hati karena mungkin merasa terbentak, namun hal itu dapat dimaklumi jika mereka sudah saling mengenal dan terbiasa. Ada beberapa suku-suku di Indonesia yang ada, contohnya suku Jawa, suku Sunda, Suku Betawi, suku Batak suku Minang dll. Mereka memiliki etika dan aturan masing-masing dalam kebudayaannya. Seperti apakah ? mari kita bahas. (Fachrul F)
  



BAB II
Pembahasan
Bahasan kali ini adalah tentang etika dari beberapa suku yang ada di Indonesia, ada yang memiliki perasamaan dan pasti memiliki perbedaan.
1.      ETIKA
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Pengertian ini muncul mengingat etika berasal dari bahasa Yunani kuno "ethos"(jamak: ta etha), yang berartiadat kebiasaan, cara berkipikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak. Kemudian diturunkan kata ethics (Inggris), etika(indonesia). Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, menjelaskan etika dengan membedakan tiga arti, yakni: Ilmu tentang apa yang baik dan buruk, kumpulan azas atau nilai, dan nilai mengenai benar dan salah. Dengan pembedaan tiga definsi etika tersebut maka kita mendapatkan pemahaman etika yang lebih lengkap mengenai apa itu etika, sekaligus kita lebih mampu memahami pengertian etika yang sering sekali muncul dalam pembicaraan sehari-hari, baik secara lisan maupun tertulis. Objek etika adalah alam yang berubah, terutama alam manusia. ( http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-etika-menurut-para-ahli.html#_)
2.      Etika Suku Batak
   Batak adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut kepercayaan animisme (disebut Parmalim). Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya.
   Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
   Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorangdari lahir kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal,melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting.Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perludilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan danagama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turunmandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya padamasa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan,upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Batakdikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yangsudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberisemangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakitdengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang".Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tapikepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yangdilakukan.Misalnya upacara memanggil roh leluhur ke rumah keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso nanti akan kemasukan roh, sehingga setiapucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara inidisebut "Sigale-gale".
   Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910, tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi tersebut tambah besar di thn 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi dengan suku lain dikota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Dalam lingkungan multietnis ini banyak orang batak ketemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain.Tetapi banyak orang batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia meninggalkan banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain ada bagianorang batak kota yang menjadi lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan laindi desanya. Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara. Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikandengan afinitas kepada apa yang dianggap moderen. Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang main poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yangmoderen tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik keyboard atau musik tiup yang main lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ansambel musik gondang dianggap kampungan oleh orang kota, kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas tidak salah.Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang disebut gondang,yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang rohani.
(http://www.academia.edu/8377373/Makalah_Mengenal_Kebudayaan_Batak_Sumatera_Utara_)
3.       Etika Suku Betawi
Sebutan suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika Mohammad Husni Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori "suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada waktu tentara Mataram menyerang Kota Batavia yang diduduki oleh Belanda, tentara Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak kehilangan akal, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil berlarian tentara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya. Dari benturan kepentingan yang dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat bahasa, budaya Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Betawi Pesisir, termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pinggir; 4) Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Jika pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi budaya Barat, maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa ditandai adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang menunjukkan asal mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan lain-lain. Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya. (http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3842/Betawi-Suku)
4.      Etika Suku Jawa
   Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di Indonesia. Suku Jawa hampir menyebar merata di seluruh pelosok tanah air, tak hanya karena keragaman budaya jawa yang cukup menjadi icon bangsa Indonesia pada tingkat budaya nasional namun juga keramahtamahan khas suku ini menjadi kesan yang cukup mendalam bagi para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
   Suku Jawa diidentikan dengan berbagai sikap sopan, segan dan menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung mengungkapkannya, menjaga etika berbicara baik secara konten isi, bahasa perkataan maupun objek yang diajak bicara. Bahasa Jawa merupakan bahasa berstrata, memiliki tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.
   Suku Jawa umumnya suka menyembunyikan perasan, menampik keinginan hati demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan, karakter asli orang yang bersuku jawa adalah tidak mencicipi hidangan tersebut sebelum dipersilahkan. Bahkan sikap sungkan mampu menampik dan melawan keinginan hati.
   Orang bersuku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika, baik secara sikap maupun bicara. Untuk orang suku Jawa yang berumur lebih muda biasanya menggunakan bahasa Jawa halus yang terengar lebih sopan jika berbicara dengan orang yang lebih tua.
   Orang-orang suku Jawa pada umumnya memeluk agama Islam, tetapi yang memeluk agama lain seperti kristen, budha dll tidak bisa dikatakan sedikit. Karena suku Jawa merupakan suku yang terbuka, jadi walaupun mereka satu suku tetapi memiliki pandangan dan cara berfikir yang berbeda. Sebenarnya jauh sebelum agama dari luar masuk ke wilayah indonesia, suku Jawa sudah memiliki agama sendiri yaitu agama Kejawen. Ajaran Kejawen sangat menekankan pada keseimbangan dan tidak pernah terikat pada aturan yang kaku. Aliran spiritual ini sangat kaya karena melingkupi tradisi, seni, budaya dan pandangan filosofis masyarakat Jawa.
   Biasanya dibarengi dengan laku yang disimbolkan dengan benda-benda yang mewakili budaya Jawa. Seperti keris, jenis-jenis bunga tertentu, tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral.
   Seiring perkembangannya, agama Kejawen mengalami sinkretisme dengan agama-agama yang datang dari luar, sehingga munculah agama seperti Islam Kejawen, Kristen Kejawen dll.  Meski telah mengalami sinkretisme, orang Jawa masih mempercayai hal-hal klenis, seperti fenomena batu bocah yang bernama ponari yang dapat menyembuhkan penykit. (http://www.anneahira.com/jawa.htm)
5.       Etika Suku Sunda
   Selain dengan budaya dan seni, jati diri dari satu kaum bisa diidentifikasi dengan bahasanya. Bahkan dengan bahasalah orang lain bisa mengindentifikasi dari daerah mana kita berasal.
“Kalau hanya seni dan budaya justru orang lain bisa meniru, tetapi dengan bahasa atau omongan yang kita ucapkan, orang akan langsung bisa mengatakan kita berasal dari mana,” ujar Rd. Achmad Wiriatmadja atau yang arab disapa Aom Achmad, pemangku adat Keprabon Sumedang Larang, pada satu acara saresehan budaya di Darmaraja, baru-baru ini.
Aom mengatakan, pada saat sekarang kecendrungan penggunaan bahasa Sunda di daerah Sunda sekalipun sudah tak banyak lagi digunakan.
“Adapun orang Sunda yang bicara Sunda memang sudah jauh dari undak-usuk basa yang seharusnya dipahami oleh orang Sunda, dalam tata etika berbicara. Namun demikian hal itu jangan membuat kita malu untuk berbicara bahasa Sunda di mana pun,” ungkap Aom.
Bahasa Sunda harus dimumule oleh orang Sunda sendiri, dan harus ditanamkan dari sejak dini. “Harus dimengerti kalau kita mencintai kasundaan, ya bicaralah bahasa Sunda yang baik, di mana pun kita berada, agar jati diri Sunda itu terlihat,” ujar Aom. (Nanang Sutisna/"KP")( http://www.kabar-priangan.com/news/detail/3479)
   Masyarakat Sunda mempunyai tradisi makan bersama yang dikenal dengan sebutan  Botram. Sejatinya makan bersama ala Botram biasa dilakukan di luar rumah,  bisa di kebun, di tepian sungai, atau sembari pesiar yang murah meriah. Masyarakat Sunda juga biasa melakukan Botram sebelum bulan puasa. Sederhana, tidak perlu makanan yang mewah, tidak perlu rupa-rupa perlengkapan makan, tidak ada urutan makan. Acara makan Botram berbentuk lesehan, bebas, dan tidak mengenal etika Table Manner, sebaliknya meleng sedikit lauk yang ada di depan kita bisa berpindah tempat dengan cepat. Menu utama Botram biasanya nasi liwet, lauknya  bervariasi, boleh ikan asin, tempe orek, ayam, oseng jengkol, petai goreng cabai dan lain-lain. Yang pasti sambal dan lalapan adalah dua bagian penting yang harus ada di sana. Makan ala Botram mengajarkan kita kebersamaan, saling berbagi  dan kesederhanaan. Dari mulai mengumpulkan bahan, memasak dan memakannya semua dilakukan bersama. Bahkan saat proses makanpun masih diselingi senda gurau dan adegan geser menggeser bagian nasi masing-masing, benar-benar menyenangkan. (http://www.gapaitinggi.com/2013/02/20/botram/)



BAB III
Kesimpulan
  Pada pembahasan ini, sudah di jelaskan beberapa etika , budaya dan kebiasaan orang-orang yang berasal dari negara yang sama tetapi dari suku yang berbeda. Keanekaragaman suku yang dimiliki Indonesia memberikan warna-warna tersendiri. Keanekaragaman ini juga bisa menjadi daya tarik untuk para orang asing yang datang ke Indonesia.
   Suku- suku di indonesia terhitung sangatlah banyak dari ujung ke ujung di setiap wilayah indonesia ada beberapa suku yang bebeda dan saling berdampingan. Setiap suku memiliki adat, budaya, kebiasaan, dan perilaku berbeda, namun ada juga yng memiliki persamaan.
    Setiap suku memiliki aturan masing-masing pada beberapa bidang seperti pernikahan .Pada suku tertentu misalnya suku batak pernikahan tidak bisa dilakukan seenaknya saja, ada aturan yang harus dijunjung contohnya tidak boleh menikahmenikah dengan orang yang marganya sama.


  Walaupun di Indonesia memiliki suku-suku yang beragam dan adat, budaya dan bahkan kepercayaan yang berbeda tetapi masyarakat di Indonesia masih bisa hidup berdampingan dan hidup rukun walau dengan perbedaan yang ada. Kita harus bersikap toleran terhadap orang lain. Tidak boleh egois karena belum tentu yang kita yakini itu hal yang benar, bagi orang lain mungkin tidak. Etika-etika seperti itu masih dapat diterima dan boleh saja dianut selama tidak menyimpang dan melanggar hukum yang ada. (Fachrul F)

Referensi