BAB I
Latar Belakang
Sebagai negara yang besar dan mempunyai
banyak suku-suku di daerah-daerahnya, Indonesia memiliki beragam budaya dan dan
tradisi yang berbeda di hampir setiap wilayah. Suku-suku di Indonesia tersebar
dari wilayah paling barat hingga paling timur Negara Indonesia. Macam-macam
suku, adat dan kebudayaan ynag bebeda saling berdampingan namun tetap terlihat
harmonis, tetapi pasti ada beberapa perbedaan dari beberapa tradisi atau kebiasaan
dari beberapa suku di Indonesia yang dapat mengganggu tradisi atau kebiasaan
suku yang lainnya, contohnya suku batak yang terbiasa berbicara lantang dengan nada
yang keras, jika mereka berbicara dengan suku jawa yang lemah lembut dan
berbicara dengan nada pelan maka orang itu aka merasa tidak enak hati karena
mungkin merasa terbentak, namun hal itu dapat dimaklumi jika mereka sudah
saling mengenal dan terbiasa. Ada beberapa suku-suku di Indonesia yang ada,
contohnya suku Jawa, suku Sunda, Suku Betawi, suku Batak suku Minang dll. Mereka
memiliki etika dan aturan masing-masing dalam kebudayaannya. Seperti apakah ?
mari kita bahas. (Fachrul F)
BAB II
Pembahasan
Bahasan
kali ini adalah tentang etika dari beberapa suku yang ada di Indonesia, ada yang
memiliki perasamaan dan pasti memiliki perbedaan.
1.
ETIKA
Etika
adalah ilmu tentang apa yang baik,
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Pengertian
ini muncul mengingat etika berasal dari bahasa Yunani kuno "ethos"(jamak: ta etha), yang berartiadat kebiasaan, cara berkipikir, akhlak,
sikap, watak, cara bertindak. Kemudian diturunkan kata ethics (Inggris), etika(indonesia). Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, menjelaskan
etika dengan membedakan tiga arti, yakni: Ilmu tentang apa yang baik dan buruk,
kumpulan azas atau nilai, dan nilai mengenai benar dan salah.
Dengan pembedaan tiga definsi etika tersebut maka kita mendapatkan pemahaman etika yang
lebih lengkap mengenai apa itu etika, sekaligus kita lebih mampu memahami
pengertian etika yang sering sekali muncul dalam pembicaraan sehari-hari, baik
secara lisan maupun tertulis. Objek etika adalah alam yang berubah, terutama
alam manusia. ( http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-etika-menurut-para-ahli.html#_)
2. Etika Suku Batak
Batak adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan Islam. Tetapi
dan ada pula yang menganut
kepercayaan animisme (disebut Parmalim). Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya.
Secara umum, suku
Batak memiliki falsafah adat Dalihan Na Tolu yakni Somba Marhula-hula
(hormat pada pihak keluarga ibu/istri) Elek Marboru (ramah pada
keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak
dalam hubungan semarga). Dalam
kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi
landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.
Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan
seseorangdari lahir
kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal,melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting.Karenanya pada saat-saat atau
peristiwa penting tersebut perludilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan danagama. Upacara-upacara
tersebut antara lain upacara turunmandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya padamasa anak-anak, upacara
mengasah gigi, upacara perkawinan,upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Batakdikenal upacara memberi makan
enak kepada orang tua yangsudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberisemangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakitdengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang".Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tapikepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yangdilakukan.Misalnya upacara
memanggil roh leluhur ke rumah keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso nanti akan kemasukan roh, sehingga setiapucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara inidisebut
"Sigale-gale".
Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910, tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi
tersebut tambah besar di thn 50-an. Migrasi ke kota
menyebabkan interaksi dengan suku lain dikota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian
besar beragama Islam. Dalam lingkungan multietnis ini banyak orang batak
ketemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain.Tetapi banyak orang batak pula dalam
proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia meninggalkan
banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain
ada bagianorang batak kota yang
menjadi lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan
memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan laindi desanya. Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering
membiayai upacara. Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya
melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai
mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikandengan
afinitas kepada apa yang dianggap moderen. Misalnya sekarang di pesta atau
upacara seolah-olah musik grup keyboard yang main poco-poco lebih laris
dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yangmoderen
tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik keyboard atau musik tiup yang main
lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ansambel musik gondang
dianggap kampungan oleh orang kota, kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas tidak salah.Kita
semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan
periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita
tidak mampu tinggal di masa dahulu dan
melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi
ini kita dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang
disebut gondang,yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi kebudayaan batak
toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang
rohani.
(http://www.academia.edu/8377373/Makalah_Mengenal_Kebudayaan_Batak_Sumatera_Utara_)
3. Etika Suku
Betawi
Sebutan suku, orang,
kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika Mohammad Husni Tamrin
mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada tahun 1918. Meski
ketika itu "penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi Kota Batavia
disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori
"suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal
mula Betawi terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan
penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada
waktu tentara Mataram menyerang Kota Batavia yang diduduki oleh
Belanda, tentara Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak
kehilangan akal, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran
mereka dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara
Mataram sehingga tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran
orang-orang Belanda. Sambil berlarian tentara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya
bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Merupakan
sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar etnis dan
suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda, dan bangsa-bangsa
lainnya. Dari benturan kepentingan yang dilatarbelakangi
oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk pada abad
ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi penduduk Jakarta
yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini
sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan,
berkenaan dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat
Melayu Betawi, teater (topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik
(gambang kromong, tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan
dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat bahasa, budaya
Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Betawi Pesisir,
termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pinggir; 4)
Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya Sunda. Jika
pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi budaya Barat,
maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo; 2) Betawi
Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat jelas pengaruh
kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya bahasa
Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam
seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya
Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya "muslim"). Pengaruh Arab itu
tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya dalam budaya Islam
umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk bahasa, makanan
dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina tercermin,
misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti kesenian
Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam
mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur
budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa ditandai
adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang menunjukkan asal
mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Bugis,
Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara
kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu
menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah
mereka relatif sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan
lain-lain. Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya. (http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3842/Betawi-Suku)
4. Etika Suku Jawa
Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar
yang berdiam di Indonesia. Suku Jawa hampir menyebar merata di seluruh pelosok
tanah air, tak hanya karena keragaman budaya jawa yang cukup menjadi icon bangsa Indonesia pada tingkat
budaya nasional namun juga keramahtamahan khas suku ini menjadi kesan yang
cukup mendalam bagi para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia.
Suku Jawa diidentikan dengan berbagai sikap
sopan, segan dan menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung
mengungkapkannya, menjaga etika berbicara baik secara konten isi, bahasa
perkataan maupun objek yang diajak bicara. Bahasa Jawa merupakan bahasa
berstrata, memiliki tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.
Suku Jawa umumnya suka menyembunyikan
perasan, menampik keinginan hati demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang
dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan, karakter asli orang yang
bersuku jawa adalah tidak mencicipi hidangan tersebut sebelum dipersilahkan.
Bahkan sikap sungkan mampu menampik dan melawan keinginan hati.
Orang bersuku Jawa memang sangat menjunjung
tinggi etika, baik secara sikap maupun bicara. Untuk orang suku Jawa yang
berumur lebih muda biasanya menggunakan bahasa Jawa halus yang terengar lebih
sopan jika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Orang-orang suku Jawa pada umumnya memeluk
agama Islam, tetapi yang memeluk agama lain seperti kristen, budha dll tidak
bisa dikatakan sedikit. Karena suku Jawa merupakan suku yang terbuka, jadi
walaupun mereka satu suku tetapi memiliki pandangan dan cara berfikir yang
berbeda. Sebenarnya jauh sebelum agama dari luar masuk ke wilayah indonesia,
suku Jawa sudah memiliki agama sendiri yaitu agama Kejawen. Ajaran Kejawen
sangat menekankan pada keseimbangan dan tidak pernah terikat pada aturan yang
kaku. Aliran spiritual ini sangat kaya karena melingkupi tradisi, seni, budaya
dan pandangan filosofis masyarakat Jawa.
Biasanya dibarengi dengan laku yang disimbolkan dengan benda-benda
yang mewakili budaya Jawa. Seperti keris, jenis-jenis bunga tertentu,
tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral.
Seiring perkembangannya, agama Kejawen
mengalami sinkretisme dengan agama-agama yang datang dari luar, sehingga
munculah agama seperti Islam Kejawen, Kristen Kejawen dll. Meski telah mengalami sinkretisme, orang Jawa
masih mempercayai hal-hal klenis, seperti fenomena batu bocah yang bernama
ponari yang dapat menyembuhkan penykit. (http://www.anneahira.com/jawa.htm)
5.
Etika
Suku Sunda
Selain dengan budaya dan seni, jati diri
dari satu kaum bisa diidentifikasi dengan bahasanya. Bahkan dengan bahasalah
orang lain bisa mengindentifikasi dari daerah mana kita berasal.
“Kalau
hanya seni dan budaya justru orang lain bisa meniru, tetapi dengan bahasa atau
omongan yang kita ucapkan, orang akan langsung bisa mengatakan kita berasal
dari mana,” ujar Rd. Achmad Wiriatmadja atau yang arab disapa Aom Achmad,
pemangku adat Keprabon Sumedang Larang, pada satu acara saresehan budaya di
Darmaraja, baru-baru ini.
Aom
mengatakan, pada saat sekarang kecendrungan penggunaan bahasa Sunda di daerah
Sunda sekalipun sudah tak banyak lagi digunakan.
“Adapun
orang Sunda yang bicara Sunda memang sudah jauh dari undak-usuk basa yang
seharusnya dipahami oleh orang Sunda, dalam tata etika berbicara. Namun
demikian hal itu jangan membuat kita malu untuk berbicara bahasa Sunda di mana
pun,” ungkap Aom.
Bahasa
Sunda harus dimumule oleh orang Sunda sendiri, dan harus ditanamkan dari sejak
dini. “Harus dimengerti kalau kita mencintai kasundaan, ya bicaralah bahasa
Sunda yang baik, di mana pun kita berada, agar jati diri Sunda itu terlihat,”
ujar Aom. (Nanang Sutisna/"KP")( http://www.kabar-priangan.com/news/detail/3479)
Masyarakat Sunda mempunyai tradisi makan
bersama yang dikenal dengan sebutan Botram. Sejatinya
makan bersama ala Botram biasa dilakukan di luar rumah, bisa di kebun, di tepian
sungai, atau sembari pesiar yang murah meriah. Masyarakat Sunda juga biasa
melakukan Botram sebelum
bulan puasa. Sederhana, tidak perlu makanan yang mewah, tidak perlu
rupa-rupa perlengkapan makan, tidak ada urutan makan. Acara makan Botram berbentuk
lesehan, bebas, dan tidak mengenal etika Table Manner, sebaliknya meleng sedikit lauk yang ada di depan
kita bisa berpindah tempat dengan cepat. Menu utama Botram biasanya
nasi liwet, lauknya bervariasi, boleh ikan asin, tempe orek, ayam, oseng
jengkol, petai goreng cabai dan lain-lain. Yang pasti sambal dan lalapan adalah
dua bagian penting yang harus ada di sana. Makan ala Botram mengajarkan kita kebersamaan, saling
berbagi dan kesederhanaan. Dari mulai mengumpulkan bahan, memasak dan
memakannya semua dilakukan bersama. Bahkan saat proses makanpun masih diselingi
senda gurau dan adegan geser menggeser bagian nasi masing-masing, benar-benar
menyenangkan. (http://www.gapaitinggi.com/2013/02/20/botram/)
Kesimpulan
Pada pembahasan ini, sudah di jelaskan
beberapa etika , budaya dan kebiasaan orang-orang yang berasal dari negara yang
sama tetapi dari suku yang berbeda. Keanekaragaman suku yang dimiliki Indonesia
memberikan warna-warna tersendiri. Keanekaragaman ini juga bisa menjadi daya
tarik untuk para orang asing yang datang ke Indonesia.
Suku- suku di indonesia terhitung sangatlah
banyak dari ujung ke ujung di setiap wilayah indonesia ada beberapa suku yang
bebeda dan saling berdampingan. Setiap suku memiliki adat, budaya, kebiasaan,
dan perilaku berbeda, namun ada juga yng memiliki persamaan.
Setiap suku memiliki aturan masing-masing
pada beberapa bidang seperti pernikahan .Pada suku tertentu misalnya suku batak
pernikahan tidak bisa dilakukan seenaknya saja, ada aturan yang harus dijunjung
contohnya tidak boleh menikahmenikah dengan orang yang marganya sama.
Walaupun di Indonesia memiliki suku-suku yang
beragam dan adat, budaya dan bahkan kepercayaan yang berbeda tetapi masyarakat
di Indonesia masih bisa hidup berdampingan dan hidup rukun walau dengan
perbedaan yang ada. Kita harus bersikap toleran terhadap orang lain. Tidak boleh
egois karena belum tentu yang kita yakini itu hal yang benar, bagi orang lain
mungkin tidak. Etika-etika seperti itu masih dapat diterima dan boleh saja
dianut selama tidak menyimpang dan melanggar hukum yang ada. (Fachrul F)
Referensi